Archive for REHABILITASI DAN KONSERVASI MANGROVE sultra

REHABILITASI DAN KONSERVASI MANGROVE DALAM MENUNJANG KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) SELAT TIWORO

by : Mohammad Aqsa, S.Hut
Pendahuluan.

Daerah mangrove yang ada di ndonesia berkisar antara 3,7 dampai dengan 4,2 juta Ha. Diantara daerah tersebut, lebih dari 75 % terdapat di Papua. Skitar 400.000 – 600.000 ha atau 10-15 % dari keseluruhannya terdapat di Sumatra , terutama terdapat disepanjang pantai Sumatra selatan dan Riau. Kalimantan dengan adaerah rawanya yang luas (kebanyakan diantaranya tidak mendukung pertumbuhan mangrove) berada di urutan ketiga, yaitu 200.000 – 400.000 ha. Kawasan mangrove di Sulawesi berkisar antara 53.000- 133.000 ha, atau sekitar 2 % dari luas total dari daerah yang bermangrove di Indonesia, namun dmikian hal tersebut penting bagi masyarakat setempat, dan kecilnya ekosistem tersebut di sulawesi itu sendiri merupakan alasan yang baik untuk melindungi dan mengupayakan pemeliraaanya.

Di Sulawesi kondisi pantai pada umumnya tidak ideal untuk mangrove dibandingkan dengan daerah daerah lain di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh sedikitnya endapat rumput dan gris pantai yang terjal. Hanya ada sedikit di Sulawesi Utara 28.000 Ha, tidak ada mangrove di Sulawesi Tengah, 97.902 Ha di Propinsi Sulawesi Selatan dan 54.259 ha dipropinsi Sulawesi Tenggara.

Menurut Chemonics (1993) luas hutan mangrove di Sulawesi Tenggara menurut Kabupaten adalah : Kabupaten Kendari 19.000 ha, Kabupaten Kolaka 8.000 ha, Kabupaten Buton 12.800 ha, dan kabupate Muna 56. 400 ha. Pada Bagian Barat Laut Pulau Muna luas mangrove kurang lebih seluas 12.000 ha yang membentang sepanjang 72 km pada derah pasang surut dari Kecamatan Kusambi sampai Kecamatan Parigi. Perincian Luas mangrove perkecamatan di wilayah tersebut adalah : Kec. Kusambi 1.774 Ha, Kecamatan Lawa, 622 ha, Kecamatan Tikep 5.701 ha, Kecamatan Kabawo 451 ha, dan kecamatan Parigi seluas 3.372 ha.

Dinas Kehutanan Kabupaten Muna meperkirakan telah terjadi penurunan luas mangrove di Kabupaten Muna kurang lebih 200-400 ha setiap tahun, dan dalam kurun waktu lima tahun terakhir laju degradasi hutan mangrove lebih tinggi.

Penggunaan Sumbedaya mangove yang ada di Sulawesi Umumnya mengancam keberadaanya, hal ini disebabkan oleh pengrusakan manusia, termasuk penebangan kayu untuk tujuan sebagai kayu perkakas, Suplai untuk Kayu Bakar, pembutan bahan semi komersial, disamping pertambakan.

Ekosistem mangrove bisa menjadi sangat produktif, sehingga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Namun kadang kala daerah hutan bakau merupakan daerah yang tidak subur, sehingga memerlukan upaya perlindungan.

Perlindungan, rehabilitasi dan pemantauan hutan mangrove dan daerah pantai yang efektif masih kurang. Hal ini disebabkan oleh tidak memadainya SDM, peralatan, dan biaya. Oleh karena itu hambatan – hambatan tersebut masih terus diupayakan pemecahannya dalam rangka memulihkan dan mempertahan sumberdaya ekosistem mangrove yang berkelanjutan.

Permasalahan

Masalah-maslah yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan mangrove adalah sebagai berikut :
1. Kepastian Kawasan Keamanan Sumber daya Hutan

Kawasan mangrove di lokasi Muna Barat laut telah ditata batas, namun belum di pahami secara luas oleh masyarakat. Sehinga sering terjadi tumpang tidih dalam pemanfaatannya. Disamping itu, telah terjadi konversi mangrove menjadi lahan usaha lain akibat belum adanya kepastian kawasan di lapangan dan keamanan Sumber daya hutan serta masih terbatasnya personil yang menangani mangrove baik jumlah maupun kemampuannya.

2. Kepastian Potensi

Sampai dengan saat ini, potensi dan keadaan kawasan Mangrove baik fisik maupun Biologisnya belum banyak di ketahui. Untuk dapat suatu rencana yang rasional dalam pengelolaan hutan mangrove diperlukan data dan informasi yang tepat tentang potensi hutan tersebut.

3. Pengetahuan dan teknologi

Teknologi tepat guna dan pengetahuan untuk mengelola sumber daya yang ada di kawasan mangrove yang sesuai dengan kondisi lokasi dan masyarakat belum banyak dikembangkan.

4. Sosial Ekonomi

Jumlah penduduk dan tekanan krisis ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di kawasan pantai secara umum masih merupakan ancaman bagi kelestarian kawasan hutan mangrove.

5. Rehabilitasi dan Konservasi.

Penebangan liar dan pembukaan lahan yang tidak terkontrol dapat mengancam kelestarian mangrove dan ekosistemnya. Dalam upaya rehabilitasi mangrove dinas kehutanan Kabupaten Muna untuk dua tahun terakhir baru dapat merealisasikan seluas 225 ha yakni di Desa Kembar Maminasa 50 ha, Desa Tondasi 50 Ha dan desa Labone 75 ha serta Desa Bonea 50 ha.

Alternatif dan Program

Program pembangunan kehutanan di kawasan pantai harus mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara proporsional dengan tujuan utamanya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, setiap program yang berhubungan dengan pembangunan kehutanan di kawasan pantai bukan hanya untuk meningkatkan pendapatan nasional tetapi juga harus mampu memperbaiki kualitas lingkungan melalui penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat.

Program-program tersebut harus berorientasi pada manfaat sosial, peningkatan fungsi dan peranan hutan secara umum, peningkatan peran masyarakat dan pemerintah daearah sampai tingkat desa yang berhubungan dengan upaya rehabilitasi dan pemeliharaan lingkungan mulai dari Perencanaan sampai dengan implementasinya.
Alternatif program pembangunan kehutanan pada kawasan Muna Barat terdiri dari:
Pengukuhan dan penatagunaan Kawasan Hutan, terutama pada hutan mangrove, Pembentukan kelembagaan formal dalam pengelolaan kawasan hutan mangrove, Peningkatan pengetahuan dan Keterampilan dalam bidang Kehutanan baik staf, petugas lapangan maupun masyarakat, Pengembangan Empang parit dan Silvo-Fishery dan Rehabilitasi dan Konservasi Hutan, serta Pengadaan Sumber Tegakan Benih.

1. Pengukuhan dan penatagunaan Kawasan hutan Mangrove,
Pengukuhan dan penatagunaan Kawasan hutan mangrove untuk mendapatkan kepastian kawasan yang diikuti dengan penataan batas kawasan yang defenitif. Walaupun seluruh kawasan hutan mangrove telah diadakan penataan batas luar, mesti terus diupayakan sosialisasi untuk dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan pemafaman atas penataan kawasan mangrove konflik yang terjadi akibat tumpang tidih dalam penggunaan mangrove dapat dihindari.
2. Pembentukan Pelembagaan Formal dalam Pengelolaah Hutan Mangrove.
Kelembagaan formal yang dibentuk dalam menangani kawasan mangrove harus melibatkan unsur-unsur masyarakat, pemuda LSM dan Pemerintah mulai dari unit pengelolaan terkecil untuk menjamin kelestarian fungsi dan manfaat kawasan hutan mangrove.
3. Peningkatan Pengetahua dan Keterampilan
Upaya peningkatan Sumberdaya Manusia yang ada di dalan dan sekitar hutan merupakan program yang telah dan terus di tingkatkan. Upaya tersebut berupa kegiatan pelatihan dan penyuluhan yang dilaksanakan baik oleh intern Dinas Kehutanan maupun pada lembaga-Diklat Departemen Kehutanan.

Program peningkatan pengetahuan dan keterampilan meliputi : Budi daya Mangrove, Empang Parit, Silfo-Fishery (Wana Mina) Budi daya Rumput Laut, Budi daya Perlebahan (Apikultur) serta pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan pemanfaatan hasil hutan Non Kayu baik yang berasal dari hutan hulu maupun hilir.
4. Rehabilitasi dan Konservasi
Program rehabilitasi dan konservasi dimaksudkan untuk memulihkan atau memperbaiki kualitas tegakan yang sudah rusak serta mempertahankannya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga fungsi hutan baik sebagai penghasil kayu, penjaga intrusi air laut, abrasi, serta sebagai penyangga kehidupan tetap terjaga.
5. Pengadaan Sumber Benih
Dalam pelaksanaan Reahabilitasi hutan dan Lahan, benih dan bibit yang bermutu memegang peranan yang sangat penting. Tegakan yang kita harap ditentukan oleh benih dan bibit saat ini. Oleh karena itu, Pohon penghasil benih bermutu dan dalam jumlah yang cukup khususnya mangrove perlu dilakukan seleksi / penunjukkan sehingga keberlanjutan progran rehabilitasi dapat berjalan dengan dengan baik.
Penutup
Kawasan Hutan mangrove di wilayah Muna Barat merupakan ekosistem yang sangat kompleks dengan luas ± 12 ribu hektar dengan kawasan perairan seluas 200.000 hektar dan merupakan cakupan dari Kawasan konservasi Laut Daerah Selat Tiworo dan dihuni oleh lebih dari 100 ribu penduduk yang tersebar pada tujuh kecamatan. Sekitar 40 persen penduduknya mendapatkan penghasilannya terkait dengan mangrove. Oleh karena itu, hanya ada kata rehabilitasi dan Lestarikan.

Comments (1) »